Sukses

Negara Berkembang Hadapi Risiko Hantaman Kenaikan Suku Bunga AS

Gangguan ekonomi negara berkembang diperkirakan dapat melampaui gejolak ekonomi 2013 bila suku bunga bank sentral AS naik.

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai sinyal, baik dari para analis maupun petinggi bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve/The Fed, telah menunjukkan ada kemungkinan besar kenaikan suku bunga Amerika Serikat usai pertemuan 15-16 Desember mendatang.

Bank of International Settlements (BIS) memperingatkan adanya kemungkinan risiko yang menghantam perekonomian negara-negara berkembang.

Melansir laman CNBC, Senin (7/12/2015), BIS juga mengingatkan gangguan ekonomi yang lebih kuat di negara berkembang pada 2016. Lebih parah lagi, risiko ekonomi tersebut dapat melampaui gejolak yang terjadi sepanjang 2013 saat The Fed melakukan tapering.

Laporan tenaga kerja terbaru yang menjadi salah satu tolak ukur The Fed dalam menaikkan suku bunga juga tercatat melampaui ekspektasi. Sepanjang November AS dapat menciptakan 211 ribu lapangan pekerjaan. Kondisi ini menaikkan kemungkinan hingga 80 persen The Fed akan segera menaikkan suku bunganya.

"Kondisi pasar finansial yang lemah ditambah dengan meningkatnya sensitivitas terhadap suku bunga AS telah memicu risiko negatif di berbagai negara berkembang, khususnya saat kebijakan normalisasi suku bunga itu benar-benar dilakukan," seperti tertulis pada laporan BIS.

Para analis ekonomi BIS mengatakan, perubahan dalam pembagian yield yang tersebar pada indeks obligasi negara berkembang dengan yang tertera di AS sebenarnya menunjukkan risiko yang lebih besar dibandingkan 2013 lalu. Kala itu pasar ketar-ketir lantaran The Fed mengetatkan kebijakan moneternya.

"Kami belajar dari kejadian setahun atau dua tahun lalu, saat The Fed agresif pada segi uang, ke sanalah uang akan mengalir," kata CIO di Azure Wealth, Johan Jooste.

Menurut Jooste, kelemahan di negara-negara berkembang dapat terlihat secara akurat melalui pasar valuta asing, pertumbuhan ekonomi yang melambat, aksi jual di pasar komoditas dan ketakutan pasar pada aksi moneter The Fed. Sama seperti halnya nilai tukar mata uang negara berkembang, real Brazil, lira Turki, Peso Kolombia yang semuanya menyentuh level terendah pada September.

"Banyak juga bukti yang menunjukkan nilai mata uang negara berkembang sangat sensitif terhadap perkembangan apapun yang terjadi di AS," tulis para analis dalam laporan BIS.

 

** Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini


**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

 
 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini