Sukses

Gubernur BI Tak Ingin Lembaganya Diaudit

Selama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah melaksanakan audit terhadap kinerja dan transparansi dari BI.

Liputan6.com, Jakarta - Lantaran nilai tukar rupiah terus tertekan sepanjang 2015 kemarin, Komisi XI DPR RI mengusulkan agar dilakukan audit terhadap Bank Indonesia (BI). Hal ini dilakukan agar masyarakat tahu bagaimana kinerja bank sentral selama ini.

Menanggapi usulan tersebut, Gubernur BI, Agus Martowardojo menilai audit terhadap BI tidak perlu dilakukan. Pasalnya selama ini BI telah menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai instansi terkait termasuk dengan DPR sehingga kinerja BI seharusnya sudah bisa diketahui secara terbuka.

"BI meyakini tidak perlu dilakukan audit. Bukan karena kita tidak membuka diri, tetapi kita menggunakan forum tertutup seperti ini (rapat kerja dengan Komisi XI) untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan BI, bahkan kita undang Komisi XI untuk lihat lingkungan BI, bagaimana mekanisme percetakan uangnya, bagaimana mekanisme peredaran uangnya," ujar di di Jakarta, Senin (11/1/2015).

Selain itu, lanjut Agus, selama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah melaksanakan audit terhadap kinerja dan transparansi dari otoritas moneter tersebut. Sehingga audit oleh BPK seperti permintaan DPR sebenarnya telah dilaksanakan.

"Dalam 12 tahun terakhir BI juga diaudit oleh BPK. Auditnya dilakukan secara lengkap, dan opini dari BPK wajar tanpa pengecualian. Mengenai peredaran mata uang juga demikian, sejak ada UU mata uang diterbitkan kita diaudit tentang pencetakan, peredaran dan pemusnahan uang, jadi dengan keterbukaan dan diskusi transparan semua akan jadi jelas," jelasnya.

Menurut Agus, dengan dilakukan audit terhadap BI juga dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi yang buruk dari dunia internasional terhadap perekonomian Indonesia. ‎Hal ini justru dinilai akan memberikan efek negatif ditengah upaya pemerintah menarik investasi sebanyak-banyaknya ke dalam negeri.

"Jadi audit ke BI tidak perlu dilakukan, karena itu akan membuat jadi kekhawatiran masyarakat internasional ‎yang berhubungan dengan ekonomi Indonesia jika dilakukan audit investigasi dan kemudian nanti dipersepsikan ada masalah yang sebetulnya ada masalah," tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan, Indonesia selalu diliputi rasa cemas sejak 2012 hingga saat ini, terutama melihat pergerakan nilai tukar rupiah yang sangat fluktuatif, naik dan turun. "Dilihat dari 2012 sampai sekarang, sebentar-sebentar ada kecemasan. Nilai tukar rupiah volatile sekali, beda dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil," kata Darmin.

Penyebab utamanya, dijelaskan Darmin, jumlah utang luar negeri Indonesia, baik pemerintah dan swasta cukup besar, sehingga DSR Indonesia sudah menembus lebih dari 50 persen. Padahal, sambungnya, DSR selalu terjaga tidak lebih dari 20 persen di masa Orde Baru. 

Pertumbuhan utang luar negeri paling cepat, lanjutnya, dialami swasta. Jumlahnya bahkan melampaui utang pemerintah sejak dua tahun lalu sehingga DSR pun tumbuh semakin cepat. "Dulu di zaman Orde Baru, kita memelihara DSR jangan lebih dari 20 persen. Angkanya naik jadi 30 persen pada waktu krisis 1998, sekarang angkanya sudah tinggi sekali 50 persen lebih," paparnya.

Bukan tanpa sebab. Menurutnya, pemerintah dan swasta membutuhkan utang karena tabungan atau anggaran negara tidak cukup membiayai investasi di Indonesia. Negara ini terpaksa harus meminjam dari luar negeri. (Dny/Gdn)


**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.