Sukses

Bursa Asia Tumbang Mengikuti Wall Street

Pasar saham dunia bergejolak usai harga minyak mentah dunia anjlok di bawah US$ 30 per barel.

Liputan6.com, Tokyo - Pasar saham Asia tergelincir pada Kamis (14/1/2016) ini, mengekor Wall Street yang dipicu anjloknya harga minyak mentah dunia yang meningkatkan kekhawatiran tentang ekonomi global.

Indeks MSCI Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,7 persen pada awal perdagangan. Sementara indeks Jepang Nikkei N225 turun 3,3 persen, dipicu buruknya rilis data domestik, melansir laman Reuters.

Pasar saham dunia bergejolak usai harga minyak mentah dunia anjlok di bawah US$ 30 per barel. Harga patokan minyak mentah Brent turun di bawah US$ 30 per barel, untuk pertama kalinya dalam lebih dari 10 tahun, sehari setelah harga minyak Amerika Serikat (AS) juga mengalami hal serupa.

Harga minyak Brent diperdagangkan hingga ke level US$ 29,96 per barel, turun 55 sen atau 1,8 persen menjadi US$ 30,31 per barel di ICE Futures Europe. Ini merupakan penutupan terendah sejak April 2004.

Sedangkan harga minyak patokan AS ditutup naik 4 sen menjadi US$ 30,48 per barel di New York Mercantile Exchange. Harga kontrak turun di bawah US$ 30 per barel untuk pertama kalinya sejak 2003 pada Selasa kemarin.

Bursa Asia turun juga dipengaruhi pesanan mesin inti Jepang turun 14,4 persen pada November dari bulan sebelumnya. Angka ini turun untuk pertama kalinya dalam tiga bulan dan menandai penurunan lebih besar dari perkiraan ekonom sebesar 7,9 persen.

Selain itu, data perdagangan China yang lebih baik dari perkiraan mengangkat sentimen di Asia dan memberikan dorongan terhadap harga ekuitas dan komoditas. Namun kondisi kemudian berubah di mana indeks saham utama AS ditutup dengan penurunan tajam.

"Meskipun ada sentimen peningkatan setelah laporan neraca perdagangan yang lebih baik dari perkiraan di Cina, aset berisiko terkena dampak dari membanjirnya pasokan di pasar energi yang mendorong harga minyak anjlok," jelas ahli strategi Barclays dalam sebuah catatan.

Kondisi global juga diprediksi akan kembali berubah usai Presiden The Fed Boston Eric Rosengren secara hati-hati mengatakan pertumbuhan ekonomi global dan AS mungkin akan turun dan bisa memaksa The Fed secara bertahap kembali menaikan suku bunga.

Di sisi lain, pelaku pasar ikut terus mengawasi mata uang China, Yuan. Bank Rakyat China telah membatasi mata uangnya dalam beberapa hari terakhir, menenangkan kekhawatiran akan depresiasi berkelanjutan.(Nrm/Zul)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini