Sukses

2.000 Perusahaan Asing Gelapkan Pajak Selama 10 Tahun

Sebanyak 2.000 perusahaan terindikasi mengemplang pajak karena alasan merugi terus-menerus.

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menyatakan sebanyak 2.000 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pasal 25 dan Pasal 29 karena alasan merugi. Perusahaan asing tersebut menggunakan tiga modus utama supaya bisa mangkir dari kewajiban menyetor pajak di Indonesia.Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi saat Konferensi Pers Pelantikan Pemeriksa Pajak mengungkapkan, 2.000 perusahaan tersebut merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang ditangani Kantor Wilayah (Kanwil) Pajak Khusus."Yang dimaksud tidak membayar pajak adalah mereka tidak membayar PPh Badan Pasal 25 dan 29 karena merugi terus-menerus. Tapi perusahaannya masih eksis," tegas Ken di kantornya, Jakarta, Senin (28/3/2016).DJP harus menelusuri lebih dalam terkait kebenaran hal tersebut. Menurut Ken, sebanyak 2.000 perusahaan multinasional mengemplang pajak PPh Badan 25 dan 29. Sementara pajak lainnya, diakui Ken, perusahaan asing tersebut memenuhi kewajiban."Kalau dikatakan tidak membayar pajak bukan berarti dia tidak membayar semuanya. PPh Final bayar, PPh 21 bayar. Tidak membayar pajak atas dirinya sendiri, dan itu yang paling sulit menarik PPh 25 dan 29 karena melekat pada Badan itu sendiri," tutur Ken.Sebanyak 2.000 PMA tersebut, sambungnya, terdiri dari perusahaan di sektor perdagangan, dan sebagainya. Ken menegaskan, perusahaan asing ini tidak membayar pajak selama 10 tahun. Praktik penghindaran pajak ini dilakukan dengan modus transfer pricing atau mengalihkan keuntungan atau laba kena pajak dari Indonesia ke negara lain.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Mekar Satria Utama menambahkan, sebanyak 2.000 perusahaan terindikasi mengemplang pajak karena alasan merugi terus-menerus. Ada tiga penyebab utama.Pertama, lanjutnya, perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi yang induk perusahaannya berada di luar negeri sehingga sangat rawan terjadi proses transfer pricing. DJP mempertanyakan pembayaran royalti yang tetap disetorkan anak usahanya di Indonesia kepada induk perusahaannya."Ada perbedaan tarif antara kita dan negara partner sehingga mereka menjual dengan harga murah. Mereka membeli bahan baku dengan harga lebih tinggi. Jadi perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia mengalami rugi, tapi perusahaan di luar negeri untung," jelas Mekar.Kedua, ribuan perusahaan multinasional itu merugi karena banyak perusahaan tersebut mendapatkan fasilitas insentif pajak, seperti tax holiday dan tax allowance saat pengajuan izin ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada waktu pengajuan pengaduan, perusahaan ini kerap meninggikan biaya pembelian barang modalnya."Tapi saat insentif pajak habis, sudah terakumulasi pembelian barang modal yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan tingginya biaya penyusutan. Akhirnya depresiasi meningkat dan yang terjadi perusahaan itu mengalami kerugian bertambah dan terus menerus," tuturnya.Ketiga, diakui Mekar, perusahaan itu sering berganti nama. Tujuannya untuk mendapatkan kembali insentif pajak dan akhirnya perusahaan tersebut bisa menjadi rugi lagi."Tiga penyebab ini yang kita identifikasi. Tapi kita sudah buat unit transformasi khusus di DJP. Pada 2014-2015, pemeriksaan transfer pricing cukup signifikan puluhan triliun yang menjadi dasar koreksinya," ucapnya.Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Kemenkeu, Edi Slamet Irianto menambahkan, 2.000 perusahaan ini banyak mengelola sumber daya alam, bergerak di sektor industri, perdagangan, dan lainnya."Kalau di sektor pertambangan biasanya melakukan importasi barang modal yang memang sangat ditinggikan, sehingga depresiasi yang berpengaruh terhadap cost recovery menjadi lebih tinggi," ujarnya.Sayangnya ketika ditanyakan perihal rata-rata tunggakan pajak satu perusahaan, Edi enggan menjawab secara detail. Namun ia menyebut angka Rp 9 triliun sebagai kredit pajak perusahaan minyak dan gas (migas) yang ditulis di Surat Ketetapan Pajak (SKP) pada tahun lalu."Kalau dilihat hasil pemeriksaan selama ini seperti migas tahun lalu, SKP menunjukkan Rp 9 triliun, seperti itu kasus-kasus transfer pricing dan lainnya. Jadi kita tidak bisa menghitung, karena perlu ada tahap yang harus dibuktikan dengan Wajib Pajak," paparnya.Edi bilang, DJP Kemenkeu telah berkoordinasi dengan BKPM dan pihak-pihak terkait untuk melakukan pencegahan terhadap praktik transfer pricing maupun penghindaran pajak. "Kasus seperti ini memang bukan di Indonesia saja. Di negara-negara yang bersangkutan juga melakukan pelanggaran untuk menghindari itu," pungkas Edi. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.