Sukses

Negara G20 Berkomitmen Buka Data Pajak Mulai Akhir 2017

Negara surga pajak (tax haven) dipaksa ikut berperan dalam era keterbukaan informasi atau automatic exchange of information (AEoI).

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dan seluruh negara anggota G20 berkomitmen mengakhiri rezim kerahasiaan bank untuk perpajakan yang dimulai pada akhir 2017. Negara surga pajak (tax haven) dipaksa ikut berperan dalam era keterbukaan informasi atau automatic exchange of information (AEoI).

Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia, Ruston Tambunan mengungkapkan, negara anggota G20 termasuk Indonesia mendesak 34 negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) supaya memaksa negara suaka pajak kooperatif untuk melakukan pertukaran informasi pajak.

"Pada akhirnya nanti semua negara termasuk negara surga pajak akan terbuka. Sebab nanti dikucilkan jika tidak melakukannya. Mereka bisa di bawah tekanan, orang-orang akan berpikir ulang menjalin hubungan dengan negara yang tidak kooperatif dalam pertukaran informasi," terangnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (11/4/2016).

 

Tren pertukaran informasi ini, kata Ruston sudah diterima Hong Kong. Negara tersebut sebelumnya adalah salah satu surga bebas pajak, seperti Panama, Swiss, Cayman Island, British Virgin Island, Singapura, Luxemburg, dan negara lainnya.

"Hong Kong kini sudah terbuka dari sebelumnya tertutup demi menjaga kerahasiaan bagi orang yang tidak mau membayar pajak. Mereka sudah mau memberikan informasi atau data untuk kepentingan pajak," terangnya.

Dengan era keterbukaan informasi, diakui Ruston, seluruh negara berharap tidak ada lagi negara-negara tempat penghindaran pajak karena semua akan mengarah pada transparansi data. "Komitmennya kan semua begitu (terbuka) di akhir 2017. Jadi mudah-mudahan saja," papar Ruston.

Sanksi

Terpisah, Program Manager International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Nikmah mengatakan, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia seharusnya mampu mendulang pundi-pundi uang dalam jumlah berlimpah untuk membiayai pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

"Faktanya uang-uang yang dimiliki ada di negara surga pajak, sehingga kita masih harus berutang untuk mendanai program prioritas. Ada negara yang sampai berutang buat bangun negaranya, tapi ada negara yang justru mengambil kekayaan dengan memberlakukan pajak rendah, sampai nol persen. Itulah negara tax haven," tegasnya.

Indonesia diakui Siti, merupakan salah satu negara yang dirugikan oleh keberadaan negara surga pajak. Ini menandakan sistem perpajakan internasional menjadi salah satu penyebab ketimpangan. Banyak perusahaan menyembunyikan perusahaan dan mendaftarkannya di negara surga pajak, padahal mereka mendapat untung dari Indonesia.

"Ini yang dinamakan transfer pricing. Penghindaran pajak bukan cuma dilakukan orang kaya, tapi juga korporasi. Sistem pajak internasional sudah timpang, hanya menguntungkan negara maju tapi tidak bagi negara miskin dan berkembang," tuturnya.

Siti mendesak Presiden Joko Widodo berperan lebih kuat di forum multilateral untuk mendorong kerjasama perpajakan global lebih terbuka, transparan, dan memberi keadilan bagi negara miskin dan berkembang. Keaktifan ini, sambungnya, harus menggandeng negara anggota G20 lain.

Saat ini, katanya, negara-negara G20 baru menerapkan perusahaan-perusahaan yang dengan aset US$ 750 juta atau sekitar Rp 9 triliun saja yang mempunyai kewajiban melaporkan keuntungannya.

Kewajiban pertukaran informasi (Automatic Exchange System of Information) pada akhir 2017, dinilainya, baru ditanggapi serius 50 negara. Sementara ada negara-negara yang tercatat sebagai suaka pajak menolak aturan tersebut.

"Jadi negara G20 harus lebih berani memberi sanksi bagi negara surga pajak ini. Kalangan internasional harus memberikan sanksi politik dan ekonomi, misalnya pelarangan ekspor untuk menekan negara tersebut tidak menjadikan dirinya sebagai surga pajak," tegas Siti.

Sementara itu, Program Manager Tata Kelola Ekonomi TII, Wahyudi pun mendesak G20 untuk menyepakati pendaftaran Benefecial Ownership (penerima manfaat), melakukan penolakan passpor bagi pelaku tindak pidana korupsi, pajak, dan pencucian uang. Serta meregulasi investasi berdasarkan uang hasil kejahatan, sebagai contoh tidak bisa membeli aset-aset mewah yang terkadang menjadi modus pencucian uang.

"Jika benefecial ownership ini diungkap, kita bisa mengindentifikasi perusahaan A misalnya ternyata dimiliki koruptor atau pemilik yang terindikasi korupsi," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini