Sukses

OPINI: Perlukah Ditjen Pajak Intip Transaksi Kartu Kredit?

Baru baru ini sejumlah bank mengungkapkan fakta yang cukup mencengangkan, banyak nasabah yang menutup kartu kreditnya.

Liputan6.com, Jakarta - Baru baru ini sejumlah bank mengungkapkan fakta yang cukup mencengangkan, banyak nasabah yang menutup kartu kreditnya. Para direksi bank mengaku langkah nasabah menutup aplikasi kartu kreditnya tersebut tak lepas dari terbitnya aturan baru dari Kementerian Keuangan mengenai pelaporan transaksi kartu kredit. 

Kewajiban perbankan untuk menyampaikan data dan informasi kartu kredit tersebut akan digunakan untuk kepentingan perpajakan.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016, kewajiban tersebut berlaku untuk 23 bank. PMK itu merupakan Perubahan Kelima Atas PMK Nomor 16/PMK.03/2013 yang mengatur tentang Rincian Jenis Data dan Informasi, serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan. Aturan tersebut berlaku pada saat diundangkan yakni 23 Maret 2016.

Ada beberapa ketakutan dari para penerbit kartu kredit terutama terkait lampiran yang mewajibkan bank, selaku lembaga penyelenggara kartu kredit, untuk melaporkan data dari nasabah yang bersumber dari billing statement atau tagihan.

Data tersebut di antaranya meliputi nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Kemudian bulan tagihan, tanggal transaksi, perincian, dan nilai transaksi dan pagu kredit. Penyampaian ini berlaku mulai 31 Mei 2016 baik secara elektronik (online) maupun langsung. Data akan diserahkan setiap bulan pada akhir bulan berikutnya.

Kami dari asosiasi kartu kredit sebenarnya belum melakukan penelitian resmi, apakah aturan baru dari Kementerian Keuangan tersebut berdampak terhadap kepemilikan dan jumlah transaksi kartu kredit atau tidak.

Di bulan April, memang terjadi penurunan transaksi kartu kredit. Namun, apakah penurunan tersebut akibat adanya PMK itu, asosiasi belum bisa memastikan. Namun sejauh ini berdasarkan informasi dari penerbit, memang ada indikasi penurunan transaksi tersebut adalah dampak dari aturan itu.

Berdasarkan data yang ada, total volume transaksi kartu kredit pada April tahun ini 23,67 juta. Angka tersebut mengalami penurunan 8,37 persen jika dibandingkan dengan periode satu bulan sebelumnya atau pada Maret 2016 yang tercatat 25,84 juta.

Untuk nominal atau nilai transaksi kartu kredit juga mengalami penurunan. Pada April 2016, total nilai transaksi kartu kredit mencapai Rp 22,15 triliun. Sedangkan pada Maret 2016 nilai transaksi dari nasabah lebih besar yaitu di angka Rp 24,77 triliun. jika dihitung, penurunan transaksi mencapai 10,60 persen.


Sedangkan untuk jumlah kartu kredit yang beredar memang tidak ada perubahan yang cukup besar. Dalam data asosiasi, pada April 2016, seluruh bank penerbit kartu kredit telah menerbitkan kartu kredit 16,896 juta kartu. Sedangkan sebulan sebelumnya tercatat 16,892 juta.

Secara umum, perusahaan yang menerbitkan kartu kredit sebenarnya cukup mengerti bahwa tujuan dari permintaan data ini, sebagai salah satu langkah Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan informasi tambahan dari seorang wajib pajak. Selain itu, pembukaan data tersebut juga untuk mencari orang-orang yang tidak menaati aturan.

Tetapi pertanyaan dari industri kartu kredit, mengapa permintaan data yang cukup detail seperti ini? Karena yang membuat keresahan masyarakat sebenarnya adalah hak privasi dari setiap transaksi yang dilakukan pemegang kartu.

Jadi dari pemahaman para pemilik kartu kredit, setiap transaksi akan dibaca secara rinci oleh Direktorat Jenderal Pajak. Padahal sebenarnya kalau menurut saya yang dibutuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak hanya total atau keseluruhan transaksi dari seorang pemegang kartu, bukan detail dari transaksi tersebut.

Jika Dirjen Pajak membutuhkan informasi mengenai berapa pemakaian kartu kredit seorang pemegang kartu, informasi ini sudah ada di sistem informasi debitur. Mengapa diminta secara detail, itu yang belum bisa dimengerti oleh industri kartu kredit.

Menurut kami, seharusnya informasi yang diminta total transaksi saja dan tidak perlu mendetail, masyarakat tidak akan resah dan tidak lagi menggunakan kartu kredit dalam melakukan transaksi.

Selain itu, jika memang Direktorat Jenderal Pajak memerlukan data lebih detail untuk seseorang wajib pajak, sebenarnya bisa dengan meminta informasi tersebut langsung ke bank penerbit. Bank penerbit dengan senang hati akan memberikan informasi yang diperlukan. Jadi perlakuannya case by case, tidak secara total.

Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ini juga akan kembali membudayakan masyarakat ke sistem tunai. Peralihan instrumen yang dipakai masyarakat untuk bertransaksi dari elektronik ke tunai ini, untuk menghindari pengawasan rincian transaksi yang dibutuhkan lembaga Direktorat Jenderal Pajak.

Selain itu, nilai transaksi ganjil membuat ada pembulatan yang memaksa masyarakat harus membayar lebih tinggi jika menggunakan transaksi tunai. berbeda dengan transaksi kartu kredit yang nilai pembayarannya sesuai dengan harga yang ditentukan.

Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak seharusnya melakukan sosialisasi yang masif dan meyakinkan kepada para pemilik kartu kredit, bahwa keamanan data nasabah terjamin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Kartu kredit adalah salah satu instrumen utang yang dikeluarkan oleh pihak bank serta memiliki nilai peminjaman yang harus dikembalikan.

    Kartu Kredit

  • Direktorat Jenderal Pajak adalah salah satu eselon satu di bawah Kementerian Keuangan Indonesia.

    ditjen pajak

  • Opini