Sukses

Kemenperin Dorong Realisasi Investasi Industri Petrokimia

Ada dua perusahaan petrokomia yang akan menanamkan modal untuk tambah kapasitas dan membangun pabrik baru.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah memprioritaskan percepatan pembangunan industri petrokimia di dalam negeri pada 2017.

Sebab, sektor strategis ini berperan penting sebagai pemasok bahan baku bagi banyak manufaktur hilir seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetika hingga farmasi.

"Untuk itu, kami mendorong investasi industri petrokimia agar bisa terealisasi tahun ini. Apalagi, pabrik petrokimia terakhir dibangun pada tahun 1998," ungkap Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Sidoarjo, Jawa Timur, seperti ditulis Senin (20/2/2017).

Airlangga Hartarto menyebutkan, sudah ada dua perusahaan petrokimia yang telah melaporkan kepada dirinya untuk segera menanamkan modalnya di Indonesia dalam upaya menambah kapasitas dan membangun pabrik baru.

"Ekspansi ini bertujuan memenuhi kebutuhan bahan baku kimia berbasis nafta cracker di dalam negeri sehingga nanti kita tidak perlu lagi impor," ujar dia.

Pertama, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, selaku industri nasional, akan menggelontorkan dana sebesar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 80 triliun hingga 2021 dalam rangka peningkatan kapasitas produksi.

Pada 2017, perseroan akan berinvestasi sebesar US$ 150 juta untuk menambah kapasitas butadiene sebanyak 50 ribu ton per tahun dan polietilene 400 ribu ton per tahun.

Chandra Asri optimistis bisa memasok permintaan pasar lokal. Sebab, fasilitas baru nanti diproyeksikan dapat menghasilkan sebanyak 1,8 juta ton per tahun atau dua kali lipat dari kapasitas produksi saat ini sebesar 900 ribu ton per tahun.

Sementara, kebutuhan dalam negeri sekitar 1,6 juta ton per tahun. Perusahaan yang memiliki fasilitas penunjang di Cilegon dan Serang, Banten ini menghasilkan bahan baku plastik dan kimia yang digunakan untuk produk kemasan, pipa, otomotif, elektronik, dan lain-lain.

Kedua, industri petrokimia asal Korea Selatan, Lotte Chemical Titan juga akan segera merealisasikan investasinya sebesar US$ 3-4 miliar atau sekitar Rp 52-53 triliun untuk memproduksi nafta cracker dengan total kapasitas sebanyak 2 juta ton per tahun. Bahan baku kimia tersebut diperlukan untuk menghasilkan ethylene, propylene dan produk turunan lainnya.

Proyek yang akan dibangun di Cilegon, Banten ini akan memakan waktu hingga 4-5 tahun dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak 9.000 orang, dengan rincian tahap kontruksi sekitar 6.000 orang dan ketika beroperasi di tambah 3.000 orang.

Lotte Chemical Titan akan memproduksi produksi etilen sebanyak 1 juta ton dan propilen 600 ribu ton per tahun. Produksi ini diharapkan akan mengurangi impor senilai US$ 1,5 miliar, yang selama ini Indonesia mengimpor bahan kimia secara keseluruhan senilai US$ 15 miliar.

"Saat ini, kapasitas kita untuk menghasilkan nafta cracker hanya 900 ribu ton per tahun, sedangkan Singapura 3,8 juta ton dan Thailand 5 juta ton," kata Airlangga.

Dengan kapasitas Lotte Chemical tersebut dan ditambah ekspansi dari PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., Indonesia akan mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis nafta cracker sebanyak 3 juta ton per tahun sekaligus memposisikan sebagai produsen terbesar ke-4 di ASEAN setelah Thailand, Singapura dan Malaysia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harga gas murah

Harga gas murah

Dalam upaya mempercepat realisasi investasi industri petrokimia, Kemenperin telah mengusulkan agar sektor ini perlu mendapatkan penurunan harga gas. Dipastikan, dengan harga gas yang kompetitif, daya saing industri petrokimia nasional makin meningkat.

"Tiga industri yang bisa menikmati harga gas murah per 1 Janurai 2017 sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penurunan Harga Gas adalah industri petrokimia, pupuk, dan baja. Namun, kami juga minta tidak hanya sektor BUMN yang menikmatinya, tetapi juga sektor swasta," tutur Airlangga.

Menperin menyampaikan, di Teluk Bintuni, Papua Barat terdapat dua sumber gas yang potensial untuk menyuplai bahan baku bagi industri petrokimia. Proyek ini akan dikembangkan PT Pupuk Indonesia dan Ferrostaal GmbH senilai USD1,5 miliar.

"Dua sumber gas potensial tersebut, yaitu di proyek Tangguh dan di blok eksplorasi Kasuri yang berada di selatan Tangguh sampai Kabupaten Fakfak. Diharapkan juga segera muncul keputusan untuk memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan yang akan membangun pabrik petrokimia di Teluk Bintuni," papar dia.

Kemenperin mencatat, potensi gas bumi di kawasan tersebut yang sudah diidentifikasi sebesar 23,8 triliun standar kaki kubik (TSCF), dengan 12,9 TSCF sudah dialokasikan untuk 2 train liquefied natural gas (LNG), dan sisanya sebesar 10,9 TSCF untuk 1 train LNG. Selain itu, ditemukan cadangan baru sebesar 6-8 TSCF.

Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono mengaku optimistis pertumbuhan industri petrokimia dapat naik sebesar 6 persen pada tahun 2017 dibandingkan capaian tahun lalu sekitar 5,2 persen. Kenaikan pertumbuhan tersebut ditopang oleh sejumlah investasi di sektor petrokimia yang ditargetkan dapat segera dimulai tahun ini.

"Kami menargetkan investasi di sektor IKTA sepanjang tahun ini dapat mencapai Rp152 triliun. Tahun lalu investasinya sebesar Rp110 triliun. Untuk tahun ini akan didorong oleh industri petrokimia seperti investasi pabrik nafta cracker oleh Lotte Chemical Titan dan Chandra Asri, mereka sudah setuju untuk dimulai tahun ini," ujar Achmad.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.