Sukses

PPATK: Masih Ada Debat soal RUU Perampasan Aset Koruptor

PPATK telah menyampaikan draf RUU Perampasan Aset atau Asset Recovery kepada Menteri Hukum dan HAM.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset atau Asset Recovery telah diserahkan kepada Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada perjalanannya masih ada perdebatan mengenai RUU tersebut.

Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, pihaknya sudah menandatangani draf RUU tersebut. Selanjutnya telah diserahkan kepada Menkumham. Dengan demikian, ia belum dapat memastikan kapan RUU tersebut dapat diundangkan dan diimplementasikan.

"Belum tahu kapan RUU Asset Recovery. Kami sudah paraf dan menyampaikannya ke Menkumham. Amanat Presiden (Ampres) juga belum, karena itu kan dari Menkumham ke Presiden. Mudah-mudahan tahun ini lah," Kiagus menjelaskan saat berbincang dengan Liputan6.com di kantornya, Jakarta, Rabu (8/3/2017).

Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan itu mengaku masih ada perdebatan terkait pengelolaan aset hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang masuk dalam RUU Perampasan Aset.

"Kami memberi pendapat asetnya ini biar menjadi tugas Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu. Tapi menurut Kejaksaan, mereka harus melaksanakan suatu keputusan pengadilan. Jadi masih ada perdebatan. Tidak tahu apakah harus diskusi ulang karena poin penting di RUU ini siapa yang mengurus aset," tegas Kiagus.

Sebelumnya, Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso, menjelaskan bahwa dengan adanya RUU Perampasan Aset, apabila terjadi pertambahan kekayaan oleh penyelenggara negara yang tidak wajar dan tidak bisa dibuktikan berasal dari kegiatan yang sah, bisa disita untuk negara.

"Kalau usulan RUU ini bisa diterima, kami yakin kita bisa wujudkan RI yang bersih, adil, dan makmur," ujar Agus.

Ia mengatakan, pihaknya memberi apresiasi terhadap penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Nomor 8 Tahun 2010 dalam proses pemberantasan korupsi sebagai tindak pidana asal.

"Kita sama-sama menyaksikan bahwa kepolisian, kejaksaan dan KPK telah menggunakan UU TPPU dalam proses penyidikan dan berlanjut ke proses penuntutan. Ini tentu merupakan perkembangan yang sangat penting dalam praktik penegakan hukum pemberantasan korupsi," kata Agus.

Ia menegaskan, dengan penerapan UU TPPU tersebut, harapan masyarakat untuk memiskinkan koruptor dengan cara merampas harta ilegalnya akan terpenuhi. Pembuktian terbalik di proses persidangan seperti yang diatur dalam pasal 77 dan 78 UU TPPU, adalah proses yang efektif untuk merampas harta ilegal yang tidak bisa dibuktikan oleh terdakwa, bahwa hartanya adalah hasil dari kegiatan yang sah.

Agus menuturkan, untuk menimbulkan efek jera tidaklah cukup apabila si pelaku hanya dikenakan hukuman badan dan denda saja. Menurutnya, hasil kejahatannya (proceeds of crime) harus bisa dirampas dan dikembalikan ke negara.

"Itulah sebabnya PPATK melakukan penelusuran aliran dana (follow the money) dan ujung-ujungnya harta ilegal itu harus dirampas melalui proses persidangan. Kita tidak rela kalau para koruptor bisa tetap menguasai harta ilegalnya selepas di penjara, itu tidak adil," tegas Agus.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini