Sukses

Pemerintah Diminta Waspadai Ketidakpastian Ekonomi di 2018

Pada tahun politik tersebut, dunia usaha menanti kepastian terpilihnya pemimpin baru atau incumbent di daerah.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta untuk mewaspadai ketidakpastian ekonomi pada 2018. Apalagi pada tahun depan Indonesia mulai memasuki tahun politik.

Direktur Eksekutif ‎Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, masuknya tahun politik pada 2018 ditandai dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 Juni 2018 di 171 daerah.

Menurut dia, pilkada memang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi. Namun, seiring penerimaan APBN tidak mencapai target, maka sangat mungkin yang terjadi adalah keadaan wait and see.

"Maka upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke 5,4 persen kian tidak mudah, meskipun tidak mustahil," ujar dia di Jakarta, Rabu (18/10/2017).

Enny memperkirakan, pada tahun politik tersebut, dunia usaha menanti kepastian terpilihnya pemimpin baru atau incumbent di daerah. Akibatnya perekonomian diperkirakan baru akan menggeliat pada semester II 2018.

"Artinya, momentum peningkatan pertumbuhan ekonomi di semester I 2018 tidak optimal," kata dia.

Meski demikian, bukan berarti pada semester II 2018 ekonomi Indonesia bisa langsung tumbuh tinggi. Sebab, pada akhir tahun depan Indonesia akan disibukkan dengan persiapan jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

"Namun, tidak ada jaminan pula di semester II 2018 akan ada akselerasi, seiring kontestasi pilpres yang akan segera digelar," tandas dia.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

IMF: Asia Jauh Lebih Tangguh Hadapi Gejolak Ekonomi

Di sisi lain, negara di wilayah Asia dinilai lebih siap dalam menghadapi badai perekonomian. Hal ini diungkap ekonom dan Director Asia Pasific Department International Monetary Fund (IMF), Changyong Rhee.

Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena pengalaman wilayah Asia yang pernah diterpa krisis keuangan pada 20 tahun silam.

"Perekonomian di Asia bisa jauh lebih fleksibel karena pelajaran yang kami raih saat krisis ekonomi yang terjadi saat 1997," tutur Rhee, seperti dikutip dari Xinhua, Rabu (18/10/2017).

Rhee yakin tingginya cadangan devisa serta kondisi fiskal yang baik dari beberapa negara di Asia bisa menjadi faktor pendukung hal ini bisa terwujud. Meski demikian, ekonom ini berpesan agar pemerintah di Asia tidak cepat puas karena ada beberapa negara Asia yang masih beradaptasi dan belum belajar dari krisis 1997 yang pernah menghantam wilayah ini.

"Saya tidak akan mengatakan bahwa Asia benar-benar kebal dari kemungkinan krisis, tapi pasti Asia lebih siap, jauh lebih maju sekarang. Mereka jauh lebih tahan banting menghadapi badai keuangan potensial," jelasnya.

Dalam pandangan Rhee, Asia juga berada dalam posisi yang lebih kuat untuk menangani normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat, yang telah menaikkan suku bunga empat kali sejak krisis keuangan baru-baru ini dan telah meluncurkan penyusutan neraca keseimbangan Federal Reserve senilai US$ 4,5 miliar pada bulan ini.

Hal ini sejalan dengan laporan yang dikeluarkan Bank Pembangunan Asia (ADB). Dalam Asian Development Outlook (ADO) 2017, bank tersebut memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di Asia dan Pasifik akan mencapai 5,7 persen pada 2017 dan 2018, turun sedikit dari 5,8 persen yang dicatatkan pada 2016.

Meski demikian, Asia merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan global dengan mencapai 60 persen, menyusul meningkatnya pertumbuhan di dua pertiga perekonomian negara di kawasan Asia yang didukung oleh permintaan eksternal yang lebih tinggi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini