Sukses

HEADLINE: Menteri Susi Bolehkan Cantrang, Nelayan Masih Galau

Menteri Susi menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mencabut Peraturan Menteri tentang pelarangan cantrang.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali mengizinkan para nelayan di pesisir Jawa untuk menggunakan alat tangkap ikan jenis cantrang di Pantai Utara Jawa. Namun senyum dari nelayan masih belum lebar. Masih ada keraguan di hati nelayan untuk kembali melaut.

Ketua Aliansi Nelayan Indonesia Cabang Lamongan Agus Mulyono mengatakan, pemerintah baru memberikan pernyataan lisan mengenai diperbolehkannya nelayan untuk melaut dengan alat tangkap cantrang.

"Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) kelihatannya masih setengah hati menurut saya," kata dia kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (18/1/2018).

Dengan kondisi ini, nelayan masih ragu untuk melaut. Pasalnya, nelayan memahami konsekuensi hukum jika tetap melaut menggunakan cantrang tanpa adanya jaminan tertulis.

Director The National Maritime Institute (NAMARIN) Siswanto Rusdi menambahkan, keputusan pemerintah memperbolehkan kembali nelayan untuk menggunakan cantrang harus menjadi pelajaran bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ke depannya KKP harus mengadakan kajian lebih mendalam terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuah kebijakan. Kenyataannya, kebijakan larangan cantrang tersebut belum bisa diterapkan di seluruh nelayan.

"Jadi kajiannya harus lebih jauh lagi. Nanti kalau tidak, setiap kebijakan Bu Susi itu akan kembali didemo, apalagi ini mendekati tahun politik," kata dia kepada Liputan6.com.

Siswanto melanjutkan, jika benar-benar ingin melarang nelayan menggunakan cantrang, KKP juga harus total dalam membantunya. Salah satu yang dibutuhkan nelayan adalah akses pembiayaan untuk membeli alat tangkap ikan pengganti cantrang.

Saat ini, beberapa nelayan yang tidak mendapatkan bantuan alat tangkap dari KKP, mesti mengajukan kredit permodalan untuk membeli alat tangkap sejenis ke perbankan. Namun dari realisasinya, hal ini membutuhkan prosedur yang tidak mudah dipenuhi oleh nelayan.

Seperti diungkapkan oleh Rasmudi, nelayan asal Batang, Jawa Tengah. Di lingkungannya, saat ini sudah banyak yang mengajukan kredit ke perbankan, namun sampai saat ini belum ada yang cair.

Diungkapkannya, pihak perbankan seharunsya memberikan keringanan dan kemudahan persyaratan demi membantu para nelayan tersebut.

"Prosesnya kan pakai jaminan, kita penuhi pakai jaminan, tapi ya prosesnya berbelit belit, sampai sekarang tidak ada yang cair di sini," tambah dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Dalam konferensi pers yang berlangsung pada Kamis 18 Januari di Kantor KKP, Menteri Susi menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mencabut Peraturan Menteri tentang pelarangan cantrang. Namun, pemerintah hanya memberikan perpanjangan waktu kepada kapal cantrang untuk tetap melaut sampai dengan pengalihan alat tangkap mereka selesai.

“Ini dengan kondisi tidak boleh ada penambahan kapal cantrang. Semua kapal cantrang yang ada harus melakukan pengukuran ulang kapalnya dengan benar dan hanya di Pantai Utara Pulau Jawa,” ucap Susi.

Susi pun memberikan beberapa syarat yang harus dijalankan para nelayan. Pertama, harus jujur dan melakukan pengukuran kapal. Kedua, jumlah kapal yang diperbolehkan menggunakan cantrang tidak boleh bertambah.

"Kalau ada yang melanggar, ketangkep melaut di luar Jawa, sudah jelas kami tenggelamkan, kami proses hukum. Karena ini sudah kesepakatan," kata Susi.

Untuk menindaklanjuti hal ini, KKP akan mengirim tim ke lapangan untuk mempercepat pendataan para nelayan tersebut.

Tidak hanya itu, untuk tetap melaksanakan pengalihan alat tangkap dari cantrang, KKP juga akan melakukan pembinaan dan pendampingan bagi nelayan.

"Kemarin Pak Presiden juga langsung telepon direktur utama bank untuk bisa dipermudah bagi nelayan yang ingin beralih. Jadi sudah kewajiban pemerintah membantu," paparnya.

Dalam masa peralihan ini, KKP tidak memasang target khusus di mana nelayan keseluruhan sudah menggunakan cantrang. "Biar kita yang bekerja," tutup Susi.

Susi menjelaskan, tujuan pemerintah membuat kebijakan tersebut adalah semata-mata untuk melindungi para nelayan dan laut Indonesia. Sehingga ia pun berharap agar para nelayan mendukung setiap program dan kebijakan yang dibuat pemerintah.

Ketua Serikat Nelayan Tradisonal (SNT) Kajidin mengatakan, sebenarnya alat tangkap yang merugikan nelayan tradisional adalah trawl atau pukat hela. Selain merusak ekosistem laut, alat tangkap ini juga merusak jaring milik nelayan.

"Untuk nelayan tradisional yang harga mati (untuk dilarang) alat tangkap trawl, itu sudah harga mati tidak bisa ditawar. Karena itu merusak ekosistem laut dan menerjang jaring-jaring nelayan sehingga kita tidak toleran dengan alat tangkap itu," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Namun untuk alat tangkap cantrang, lanjut dia, banyak nelayan yang masih memberikan toleransi terhadap penggunaan alat tangkap tersebut. Karena alat tangkap tersebut dianggap tidak berbahaya bagi ekosistem laut dan banyak digunakan oleh para nelayan khususnya di wilayah Jawa Tengah.

"Tetapi kalau cantrang, kawan-kawan yang menggunakan alat tangkap noncantrang masih memberikan toleransi. Karena cara mereka menangkap berbeda. Soal merusak lingkungan juga masih dipertanyakan. Sehingga kita masih bisa menerima," tandas dia.

 

3 dari 3 halaman

Derita Nelayan Cantrang

Sejak cantrang dilarang, banyak nelayan mengaku kebingungan mencari nafkah. Nelayan pengguna cantrang mengatakan, itu adalah satu-satunya alat yang dapat mereka gunakan untuk menangkap ikan.

Rasmudi (35), nelayan cantrang asal Tegal, mengatakan dia terpaksa menepi dulu sejak awal bulan ini karena tidak sanggup membeli gillnet yang merupakan alat tangkap ikan yang disarankan oleh KKP.

"Mahal itu, butuh uang Rp 1,5 miliar. Sementara pakai cantrang biayanya Rp 500 juta," tuturnya kepada Liputan6.com.

Dengan adanya cantrang saja pendapatannya masih tidak menentu, apalagi tanpa adanya cantrang "Saya biasa melaut sampai dua bulan, dan kalau nasibnya lagi baik bisa bawa pulang Rp 8 juta-Rp 10 juta," ujar dia.

Hal senada dilontarkan Taulani (45), nelayan cantrang yang juga berasal dari Tegal. "Sejak cantrang dilarang, ya saya tidak bisa apa-apa. Kalau udah biasa kerja di laut, susah cari kerja di darat," tuturnya.

Berbeda dengan Ade (38), nelayan Tegal yang tetap nekat melaut dengan cantrang dilarang. "Kita ke laut aja, asal enggak ketangkep. Kalau sampai ketangkep (oleh Angkatan Laut), itu kapalnya bisa ditahan tiga bulan," kata dia.

Sementara itu, Kasmadi (47) asal Lampung mengatakan, dia tetap melaut menggunakan gillnet pemberian pemerintah, meskipun secara hasil tangkapan tidak memadai.

"Kawan saya beberapa persen ada yang alih profesi, tapi tidak menghasilkan. Saya tetap jalan pakai gillnet aja, biar secara hasil dapatan itu kecil, sih," ucap dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.