Sukses

[VIDEO] Masihkah Indonesia Disebut Negara Agraris?

Indonesia kini harus mengimpor sejumlah komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya mempunyai pencaharian sebagai petani. Ironisnya, negeri ini kini harus mengimpor sejumlah komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Apakah Indonesia masih layak menyandang gelar sebagai negara agraris?

Dengan mantap, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menjawab "masih". Menurut Pria kelahiran Bogor, 4 November 1951, saat ini sektor pertanian masih menyerap sekitar 40% dari total tenaga kerja di Indonesia.

"40 juta orang yang bekerja di sektor pertanian. Kalau dikalikan empat per keluarga ada 160 juta orang yang masih  berharap dari sektor pertanian. Jadi Indonesia masih relevan disebut negara agraris," terang Rusman  saat berbincang dengan Liputan6.com di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, seperti ditulis Rabu (4/9/2013).

Namun, kenapa Indonesia masih banyak mengimpor bahan pangan?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, terdapat 28 komoditas pangan yang biasa dikonsumsi sehari-hari yang masih dimpor dari negara lain seperti jagung, kedelai, bawang putih, bawang merah hingga lada.

Rusman menjelaskan, dengan menjadi negara agraris, bukan berarti seluruh kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari hasil produksi petani lokal.

Ada sejumlah komoditas pangan yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Misalnya, bawang putih yang cocok ditanam di daerah beriklim sub tropis sehingga kalau ditanam di Indonesia hasilnya tidak akan optimal. Hal itulah membuat Indonesia masih harus mengandalkan impor untuk memenuhi permintaan komoditas itu.

"Dulu petani kita juga menanam bawang putih, tapi karena di sini lahan tropis jadi hasil siungnya kecil-kecil. Memang kurang cocok ditanam di sini," kata Rusman yang juga pernah menjabat sebagai Kepala BPS.

Opsi impor juga diambil karena hasil produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen domestik. Misalnya cabai. Indonesia masih belum memproduksi cabai sepanjang tahun. Cabai hanya bisa ditanam pada saat musim hujan, sementara saat kemarau petani tak bisa menanam cabai.

"Ketika tidak ada pasokan, solusi akhirnya ya impor. Yang penting jangan sampai pas panen, kita impor itu bisa melukai petani kita. Jadi diatur kapan impor terbaik, ya pas off season karena tidak ada pasokan juga jadi tidak merugikan petani karena mereka juga tidak menghasilkan apa-apa," jelasnya.

Faktor lainnya yaitu harga impor lebih murah dari pada domestik. Itulah yang membuat para importir mau membeli daging dari Australia. Harga daging di Australia sekitar Rp 50 ribu-Rp 60 ribu per kilogram (kg), sementara di Indonesia dijual Rp 90 ribu per kg sehingga menguntungkan para importir.

"Coba kalau di Indonesia harganya Rp 80 ribu, di Australia Rp 90 ribu, disuruh impor, mereka (importir) tidak akan mau karena tidak ada untungnya," ungkapnya. 

Meski masih menjadi negara agraris, namun Rusman mengakui kontribusi sektor pertanian ke produk domestik bruto (PDB) justru terus merosot. Dulu di awal era Orde Baru, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 40%, kini terkikis menjadi 14,5%, jauh di bawah industri dan perdagangan.

"Jangan diterjemahkan sektor pertaniannya turun. Kontribusi turun karena sektor lain naik lebih cepat. Ini tidak bisa dihindari bahwa ini pengaruh global bikin struktur ekonomi kita seperti itu. Karena ada pergeseran hasil produksi primer yang dijual, sekarang kan produk olahannya juga. Nah itu masuk ke sektor industri," ungkap dia. (Ndw/*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.