Sukses

Perajin Toples Stainless Steel Terpukul Kenaikan Dolar AS

Keuntungan perajin toples stainless steel berkurang sejak dolar AS mengalami kenaikan, mengingat bahan baku stainless steel masih diimpor.

Anda pasti sudah tidak asing lagi mendengar nama toples. Wadah untuk tempat kue atau makanan ringan ini selalu diburu kaum hawa sebagai pelengkap di meja tamu rumah.

Dedi Ahmadi, perajin toples di kota Bogor ini melirik peluang usaha tersebut sebagai bisnis yang menjanjikan.

Pria bersahaja itu memproduksi toples dan 10 model lain seperti tong sampah, oven gas, panci, penggorengan, lampu taman, cetakan kue berbahan dasar stainless steel karena dianggap murah.

"Harganya sangat terjangkau mulai dari Rp 10 ribu untuk toples kecil hingga Rp 1,5 juta untuk produk oven stainless steel. Jadi sebenarnya kalangan bawah atas bisa membeli produk ini," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Pameran Peranti Saji Indonesia, Jakarta, Minggu (22/9/2013).

Dengan harga yang cukup terjangkau, Dedi mengatakan, pihaknya bisa memperoleh pesanan dari pelanggan di daerah Bogor, Jakarta dan sekitarnya dari 500 pieces sampai 1 juta pieces per hari.

"Kami juga baru melayani pesanan sebanyak 150 pieces toples dari warga Australia langsung melalui Diskoprindag bulan kemarin," sambung Pria Kelahiran Bogor, 18 November 1979 itu.

Untuk memenuhi pesanan ini, Pria tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebut mengaku harus memproduksi toples dan model lain sekitar 50 pieces per hari. Saat ini, Dedi memiliki workshop di Citeureup dengan jumlah karyawan sebanyak 17 orang dari sebelumnya hanya 3 orang.

"Jadi pada tahun 2008 sejak Sarah Mandiri berdiri, modal awal saya cuma Rp 3 juta dan sekarang saya bisa mengantongi omzet Rp 15 juta per bulan," tuturnya.

Namun sayang, dia mengaku, keuntungannya berkurang sejak dolar Amerika Serikat (AS) mengalami kenaikan, mengingat bahan baku stainless steel masih diimpor dari India.

"Harga bahan baku steinless steel dari supplier sudah mahal akibat dolar naik, karena mereka beli langsung dari India. Jadi kami merasa rugi," ujar dia.

Dedi terpaksa masih membeli bahan baku tersebut lantaran kualitas stainless steel impor dengan produk lokal misalnya dari Surabaya sangat berbeda jauh. "Kalau dari India, stainless steel sangat awet. Tapi kalau produk dalam negeri mudah karatan, jadi tidak awet," ucapnya.

Kendati demikian, Suami dari Imas Masrifah ini belum menaikkan harga jual karena khawatir konsumen akan kabur ke perajin lain. Namun, dia mengaku, keuntungannya menyusut dari biasanya sebesar 25% menjadi 20%.

"Untuk sementara, saya tekan laba saja. Tidak apa kehilangan marjin 5% yang penting pelanggan masih membeli produk saya. Kalaupun nanti saya naikkan, tidak akan terlalu tinggi, paling 2,5%," pungkas Ayah dua orang anak yang gemar olahraga itu. (Fik/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.