Sukses

[VIDEO] Larangan Ekspor Mineral, Lebih Banyak Untung atau Rugi?

Indonesia mengambil satu langkah ekstrim yaitu melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014.

Indonesia mengambil satu langkah ekstrem yaitu  melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Dengan melarang ekspor barang tambang, pemerintah memperkirakan devisa negara bakal terkikis hingga US$ 5 miliar menjadi US$ 6,5 miliar.

Perusahaan tambang yang tidak siap dengan kebijakan itu panik. Pasalnya, fasilitas pengolahan dan permurnian (smelter) mineral yang  bakal mengolah mineral mentah belum juga selesai dibangun.

Jika tidak bisa memberi nilai tambah, maka barang tambang yang diproduksi tidak bisa diekspor. Lalu perusahaan gulung tikar dan pemecatan karyawan besar-besaran terjadi.

Meski pahit, pemerintah tetap bersikeras melanjutkan kebijakannya itu. Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM R Sukyar menyatakan, langkah larangan ekspor mineral mentah dan pengolahan barang tambang adalah kebijakan  yang pahit di awal tapi akan berbuah manis di kemudian hari.

Apa saja keuntungan dari kebijakan ini? Ditemui Liputan6.com di Hotel Grand Melia, Jakarta, Senin (6/1/2014) malam, Dirjen Minerba R Sukyar akan menjelaskannya untuk Anda.

Berikut petikan hasil wawancaranya:

Bagaimana prospek sektor tambang pada tahun ini?

Tahun 2014, pasti diwarnai dengan implementasi kebijakan pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 yaitu pelarangan ekspor terutama logam, kedua saat ini untuk mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaanya pemerintah saat ini  sedang menyusun revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010, kemudian Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 tentang  batas minimal pengolahan dan pemurnian.

Poinnya adalah pemerintah akan konsisten melaksanakan UU Minerba kemudian melarang ekspor. Kita akan mengatur yang sudah mengolah dan berkomitmen mengatur seberapa jauh dia mengekspor bahan olahannya. Yang jelas tidak boleh ekspor raw material (barang tambang mineral mentah).

Ke arah mana revisi aturannya?

Yang jelas kebijakan yang ada meningkatkan nilai tambah mineral, kalau tahun ini diterapkan tentunya akan berkurang produksi bijih mineral, karena akan diolah di smelter. Tidak seperti dulu, besar-besaran eksploitasi. Tahun lalu nikel produksinya sampai 60 juta ton, bauksit 40 juta ton, sekarang sesuai dengan kapasitas fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), itu tidak besar.

Namun pada 2015, kita sudah dapat pendapatan dari pengolahan mineral, tahun 2016 itu lebih besar lagi nilai tambahnya.  Bahkan bisa  dua kali lipat dari pendapatan saat kita mengekspor raw material pada 2013.


Apa tanggapan Anda terkait ancaman PHK jika larangan ekspor mineral resmi diterapkan?

Itu yang diatur dalam PP jadi sebenarnya dalam konteks tenaga kerja, jika Indonesia hanya sebatas menambang tentu tidak banyak menyerap tenaga kerja. Sementara jika barang tambang diolah dan dimurnikan di Indonesia itu bisa menyerap tenaga kerja tiga kali lipat lebih banyak.

Katakanlah tahun ini ada 25 perusahaan sedang masuk ke bisnis pengolahan dan pemurnian maka itu akan menyerap tenaga kerja, terkadang kita lupa seperti itu.  Apalagi tahun berikutnya. Jadi masalah itu jadi pertimbangan pemerintah.

Oleh sebab itu nanti PP-nya diatur, perusahaan-perusahaan yang sudah masuk ke proses pengolahan dan pemurnian boleh mengekspor, tapi jangan raw material.

Jika smelternya masih belum selesai dibangun?

Sebab itu nanti dibatasi, dikasih batas waktu. Pokoknya begini pada 12 Januari 2014, kan tidak satupun perusahaan terutama pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bisa menyelesaikan smelter dikasih batas waktu. Ada juga perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) yang belum seluruh produknya dimurnikan.

Untuk itu diberi batas waktu tertentu sekitar 2-3 tahun demi memberikan kesempatan menyelesaikan sarana pengolahan dan pemurnian mineral. Karena di UU itu untuk pengolahan dan pemurnian tidak dibatasi waktunya sehingga dengan pertimbangan itu kita coba cari jalan keluar. Yang penting tidak boleh ekspor bahan mineral mentah.

Oleh sebab itu, kita bikin aturan batas minimal pemurniannya. Memang dulu kita pernah bikin Permen ESDM Nomor 7, Permen ESDM Nomor 20 dinilai terlalu ketat.  Penetapan batas minimal pemurnian penyusunannya itu melibatkan para ahli, pengusaha dan asosiasi. Misalkan ada asoisiasi nikel, asosiasi pasir besi, kita libatkan semua.

Pemerintah akan memperlonggar aturannya?

Bukan diperlonggar, jadi memang pendekatannya itu suatu produk yang teknologinya ada, laku di pasar dan cadangannya ada. Kemudian keekonomian masuk, jadi tidak bisa sembarangan. Untuk apa kita menerapkan sesuatu tapi tidak laku di pasaran.

Benarkah pelarangan ekspor mineral mentah bisa bikin devisa negara tahun ini anjlok US$ 5 miliar?

Jadi gini, apabila kita menerapkan pelarangan raw material, kita akan kehilangan devisa negara US$ 5 miliar. Memang itu ekstrem banget. Tapi tahun berikutnya itu cuma berkurang US$ 3 miliar. Tahun berikutnya lebih besar lagi dampaknya.

Pada tahun 2013, penerimaan mineral sekitar US$ 11,8 miliar, lalu tahun ini karena pelarangan ekspor dicanangkan kemudian membuat pemasukan negara hanya tinggal US$ 6,5 miliar. Pada tahun 2015, itu naik jadi US$ 9,5 miliar, tapi tahun 2016 mencapai US$ 15,5 miliar itu jauh lebih besar dari tahun 2013.  Bahkan sampai 2017 bisa menembus US$ 24 miliar.

Suatu kebijakanan, perubahan paradigma pasti awalnya ada transisi yang memang agak pahit sedikit, berikutnya ada gain (keuntungan)
yang sangat besar.


Berapa besar investasi yang masuk dari proyek smelter?

Saya akan bicara mengenai investasi. Realisasi investasi sekarang sudah US$ 6 miliar untuk bangun 25 smelter dari target US$ 17 miliar.


Minat investor untuk membangun smelter cukup tinggi?


Dari sisi pelaku usaha yang mengajukan saja menggembirakan ada 178 perusahaan yang sudah mengajukan ke pemerintah untuk pembangunan smelter. Sebanyak 25 perusahaan kontruksi smelter-nya sudah hampir selesai. Saya  kira kalau nilai tambah tidak diperoleh, rasanya tidak ada yang mau bangun smelter. (Pew/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini