Sukses

Beda dengan BBM, Subsidi Tetap Listrik Tak Bisa Diterapkan?

Opsi pemberlakuan subsidi tetap untuk listrik tak bisa diterapkan di Indonesia karena subsidi listrik terbagi dalam beberapa golongan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi sinyal bahwa opsi pemberlakuan subsidi tetap bagi energi listrik tak bisa diterapkan di Indonesia. Pasalnya, kebijakan subsidi listrik terbagi dalam beberapa kelompok.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Bambang PS Brodjonegoro memastikan bahwa kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) bagi golongan-golongan tertentu mulai diberlakukan pada Mei 2014.

"Itu kan (kenaikan TDL) sudah pasti Mei, mudah-mudahan tidak menyumbang inflasi seperti tahun lalu. Apalagi ada banjir yang mungkin imbasnya di Januari ini," tutur dia usai Rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) di kantor Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kemenkeu, Jakarta, Jumat (24/1/2014).

Terkait dengan opsi subsidi tetap yang diharapkan PT PLN (Persero), Bambang menegaskan, tak bisa menyamakan antara subsidi tetap bagi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan listrik.

"Tidak bisa (disamakan), beda dong. Kalau listrik, pendekatan subsidinya per kelompok. Ada kelompok-kelompok yang harus dihilangkan subsidinya, ada kelompok yang harus dikurangi tapi ada juga yang mungkin masih bisa dipertahankan (subsidinya)," jelas dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, PLN berharap kepada pemerintah untuk menerapkan skema subsidi tetap bagi listrik, selain BBM. Dengan subsidi tetap, tarif listrik akan turun naik setiap sebulan atau tiga bulan sekali.

Direktur Utama PLN, Nur Pamudji, mengatakan pemberlakuan kenaikan dan penurunan tarif listrik tergantung pada harga beberapa bahan baku di pasar internasional.

Saat ini, dia menjelaskan, pemerintah mematok subsidi listrik sebesar Rp 400 kilowatt per hour (Kwh) dari rata-rata harga keekonomian Rp 1.300 per kwh. Itu artinya harga jual rata-rata listrik sebesar Rp 900 per kwh.

"Seandainya ada subsidi tetap, misalnya harga bahan baku, seperti BBM, batubara, dan gas turun, lalu nilai tukar rupiah membaik, maka harga keekonomian jadi turun Rp 1.200 per kwh. Maka, tarif listrik pun jadi ikut merosot supaya subsidi tetap bertahan di Rp 400 per kwh," ungkap dia.

Sebaliknya, kata Nur, apabila harga bahan baku tersebut mengalami kenaikan, maka otomatis tarif listrik pun terkerek naik agar besaran subsidi pemerintah tidak berubah.

Dia mengakui, subsidi tetap listrik pernah diterapkan pemerintah pada masa sebelum krisis moneter (krismon). Sehingga masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan fluktuasi tarif listrik yang naik turun setiap saat.

"Ini pernah dilakukan pada tahun 1994 sampai 1997 sebelum krismon. Jadi turun naik tarif listrik berlaku per tiga bulan sekali. Dan tidak ada masalah buat masyarakat," klaim Nur.

Mekanisme subsidi tetap pada energi, termasuk listrik, merupakan cara efektif agar menahan laju anggaran subsidi semakin membengkak akibat pengaruh harga bahan baku di pasar dunia.

"Bagi masyarakat pun tidak akan terasa, karena naik turunnya tarif listrik cuma sedikit contohnya Rp 50 atau Rp 25 per kwh. Masyarakat melihatnya sama seperti fluktuasi harga beras, jadi tidak membingungkan," ucapnya. (Fik/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.