Sukses

Ini Perbedaan KPPU RI dengan Jepang

Ketua KPPU Syarkawi Rauf menuturkan, kalau KPPU Jepang sangat kuat karena masuk kabinet dan memiliki wewenang memberi masukan.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengeluhkan keterbatasan wewenang dalam penegakkan hukum para pelaku kartel ataupun persaingan usaha tidak sehat lainnya. Apalagi jika sudah bersinggungan dengan pemerintah, lembaga ini lemah sehingga selalu kalah di tingkat Mahkamah Agung (MA).

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengungkapkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang KPPU, wewenang lembaga ini hanya memberikan sanksi administratif maksimum Rp 25 miliar. Keinginannya tentu mempunyai wewenang untuk memidanakan seseorang, mafia kartel yang sudah mengeruk keuntungan dari masyarakat.

"Saya ingin memidanakan, kalau senjatanya di kasih. Tapi kewenangan KPPU hanya memberikan sanksi administratif, itu yang tertulis di UU," tegas Syarkawi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (7/6/2016).

Dalam Rancangan UU KPPU yang baru pun, Ia mengakui, wewenang KPPU hanya memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah.


Padahal, sambung Syarkawi, posisi KPPU di Jepang sangat kuat karena masuk dalam kabinet dan memiliki wewenang memberi masukan kepada kebijakan pemerintah. Sementara KPPU Australia berperan lebih vital dalam sebuah tatanan kenegaraan, di mana saran KPPU harus dilaksanakan pemerintah.

"Nah pemerintah Indonesia mau tidak memberikan wewenang seperti itu kepada KPPU. Kalau KPPU menyarankan untuk menolak impor, pemerintah lalu impor, itu artinya melanggar UU. Kalau ada wewenang ini akan sangat bagus buat kami," jelas Syarkawi.

Sayangnya, kata dia, KPPU saat ini begitu lemah. KPPU, lanjutnya, tidak mempunyai wewenang menghukum pemerintah. "Kami pernah lakukan menghukum pemerintah dalam sebuah kasus tender, tapi dibatalkan oleh MA. Setiap menghukum pemerintah selalu dibatalkan di MA," ujar dia.

Di Jepang, Syarkawi mengakui, pelaku kasus kartel disamakan dengan pelaku kriminal sehingga dapat dihukum pidana. Sedangkan di Indonesia, ruang gerak KPPU terbatas pada pemberian sanksi denda Rp 25 miliar maksimum dan tidak dapat dipidanakan.

"Jadi kita butuh proses advokasi mengikat. Semua produk perundangan di pusat dan daerah sebelum dikeluarkan konsultasi dulu ke KPPU. Jika tidak sejalan, menteri atau gubernur, jangan mau paraf. Jadi tergantung siapa menteri atau pimpinan daerah yang saat itu menjabat," ucap dia. (Fik/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini