Sukses

Gagal Bayar Bunga Utang,Saham Bakrie di Sektor Tambang Tersungkur

Saham Bakrie di grup tambang telah anjlok sekitar 73 persen dari Rp 300 per saham pada perdagangan saham 30 Desember 2013 menjadi Rp 81.

Liputan6.com, Jakarta - Saham Bakrie di sektor tambang yaitu PT Bumi Resources Tbk (BUMI), terus tertekan sejak awal perdagangan saham Kamis (4/12/2014). Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's menurunkan peringkat utang jangka panjang perusahan dan skala regional ASEAN menjadi default dari Selective Default (SD).

Berdasarkan data RTI pukul 10.16 WIB, saham PT Bumi Resources Tbk turun 4,94 persen menjadi Rp 77 per saham. Total frekuensi perdagangan saham sekitar 1.614 kali dengan volume perdagangan saham 1.190.528. Nilai transaksi harian sahamnya mencapai Rp 9,3 miliar. Harga saham BUMI sempat berada di level tertinggi Rp 82 dan terendah Rp 75 per saham.

Bila melihat sepanjang 2014, saham Bakrie di sektor tambang ini telah anjlok sekitar 73 persen. Dari penutupan perdagangan saham akhir Desember 2013 sebesar Rp 300 per saham menjadi Rp 81 per saham pada perdagangan saham Rabu 3 Desember 2014.

Direktur PT Investa Saran Mandiri, Hans Kwee menuturkan, penurunan peringkat PT Bumi Resources Tbk oleh S&P telah menekan harga sahamnya. Padahal manajemen PT Bumi Resources Tbk telah berupaya untuk merestrukturisasi pembayaran bunga utang. "Penurunan rating membuat harga saham Bumi Resources Tbk turun," ujar Hans, saat dihubungi Liputan6.com.

Dalam riset Standard and Poors menyebutkan, pihaknya menurunkan peringkat utang jangka panjang sekitar US$ 300 juta yang akan jatuh tempo pada 2016 menjadi Defaut dari CCC-.

Tak hanya itu saja, lembaga pemeringkat ini juga mempertahankan peringkat D untuk utang perusahaan tambang batu bara grup Bakrie yaitu Bumi Resources Tbk senilai US$ 700 juta yang jatuh tempo pada 2017. Hal ini mengingat anak usaha perseroan Bumi Investment Pte Ltd tetap gagal bayar kupon bunga setelah jatuh tempo.

"Kami menurunkan peringkat kredit perusahaan pada Bumi Resources untuk default karena sepertinya perusahaan tidak dapat melayani setiap kewajiban utangnya setidaknya enam bukan ke depan," ujar Analis Standard and Poor's Vishal Kulkarni. (Ahm/)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.