Sukses

Gara-gara Harga Minyak Turun, Aksi PHK Bakal Marak di 2015

Para pengusaha di industri migas akan menghadapi tahun yang sulit sepanjang 2015

Liputan6.com, New York - Harga minyak yang terus turun merupakan kenyataan pahit yang harus diterima para pengusaha minyak dan gas (migas) di seluruh dunia. Artinya, para pengusaha di industri migas akan menghadapi tahun yang sulit sepanjang 2015 di mana perusahaan jasa dan pengeboran minyak akan mendapatkan hantaman besar.

Perusahaan pemeringkat global Moody's melaporkan, industri migas global akan terdorong untuk melakukan pemangkasan biaya produksi, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merger secara masif sepanjang 2015.

Mengutip laman Sydney Morning Herald, Rabu (7/1/2015), perusahaan-perusahaan produksi dan eksplorasi minyak juga diprediksi harus memangkas anggara pengeluaran perusahaan. Moody's memperingatkan bahwa sejumlah perusahaan akan mulai merasakan tekanan yang kian berat.

Tak hanya itu, Moody's juga memprediksi meningkatnya penundaan pengambilan keputusan investasi, PHK dan penurunan biaya produksi. Itu lantaran para pelaku usaha harus melakukan penyesuaian dengan harga minyak yang terus turun.

Moody's kini juga mengingatkan akan potensi maraknya penundaan berbagai proyek LNG, di mana Chevron telah menunda keputusannya untuk berekspansi melalui proyek Gorgon senilai US$ 66,8 miliar di Western Australia.

Selain itu, perlambatan atau pembatalan proyek Mozambique LNG milik ENI dan proyek Rupert milik BG Groups di Kanada bisa saja terjadi meski sumber daya gasnya sangat besar.

"Perusahaan-perusahaan minyak terintegrasi akan terus mencari transaksi lain pada 2015, khususnya jika harga minyak terus turun," ungkap para analis Moody's.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pangkas anggaran

Perusahaan tersebut menghitung jika harga minyak berada di kisaran US$ 75 per barel pada 2015, maka perusahaan produksi dan eksplorasi minyak di Amerika Utara harus memangkas anggaran sekitar 20 persen.

Selaiin itu, Moody's juga memprediksi pendapatan perusahaan jasa lahan minyak terbesar di dunia akan menurun sekitar 12 hingga 17 persen jika harga minyak masih di kisaran US$ 75 per barel. Tapi penurunan pendapatan bisa mencapai 30 persen jika harga minyak bertengger di level US$ 60 per barel.

"Meskipun perusahaan jasa lahan tambang minyak terbesar di dunia seperti Schlumberger, Halliburton and Baker Hughes tercatat kuat, tapi perusahaan yang lebih kecil seperti Basic Energy Services dan Key Energy Services akan mendapatkan hantaman yang lebih besar," seperti tertuang dalam hasil laporan analias Moody's.

Kontrak perusahaan minyak juga akan terus tertekan sepanjang 2015 dan menghambat penambangan di lahan baru. Dampaknya bahkan dapat terasa hingga 2016 di mana sejumlah perusahaan minyak harus memperbarui kontrak pengeboran dengan harga yang tetap murah. (Sis/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.