Sukses

Berapa Harga Minyak RI yang Realistis?

Harga minyak dunia cenderung merosot berpengaruh pada harga minyak Indonesia atau Indonesia crude price.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang realistis saat ini sekitar US$ 30-40 per barel.

Sudirman mengatakan, harga minyak dunia‎ yang merosot berpengaruh pada ICP. Namun, negara produsen minyak telah sepakat untuk mengurangi pasokan agar harga minyak kembali bangkit.  Sudirman memperkirakan ICP yang sesuai dengan kondisi saat ini sekitar US$ 30-40 per barel.

"Saya kira begitu angka yang realistis, setelah disepakati freeze produksi antara Arab Saudi, Rusia, negara-negara Amerika Latin harusnya punya dampak terhadap harga minyak. Saya kira harga US$ 30-40 itu mungkin," kata Sudirman, di Jakarta, Rabu, (24/2/2016).

Dengan besaran harga tersebut, maka ICP yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar US$ 50 sudah tidak sesuai.

Namun, Sudirman menyerahkan perubahan ICP dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minyak dan gas bumi tersebut ke Kementerian Keuangan sebagai pihak yang berwenang dalam me‎nentukan kerangka makro. Lantaran, Kementerian ESDM hanya bertugas memberi masukan saja.

"Tentu front line nya APBN Perubahan di Menkeu. Kami sampaikan ikut memberikan asumsi, kalkulasi mengenai harga segala macam. Jadi saya tidak bisa mendahului untuk menghitung berapa," ujar Sudirman.

Pemerintah memastikan ada revisi harga minyak Indonesia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.  Asumsi ICP akan dipangkas dari US$ 50 per barel menjadi US$ 30 per barel yang berimbas pada penurunan penerimaan negara.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, harga minyak dunia terus tertekan karena saat ini bergerak di kisaran US$ 30-35 barel sehingga pemerintah perlu menyodorkan asumsi baru untuk harga minyak.

Dengan penurunan asumsi ini, kata Bambang, berpengaruh pada penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas dan anjloknya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti tambang karena harga komoditas yang rendah. Kondisi tersebut akan membuat struktur penerimaan berubah.

Bambang memperkirakan, penerimaan negara anjlok sampai Rp 90 triliun dengan asumsi penurunan ICP dari US$ 50 menjadi US$ 30 per barel. Proyeksi tersebut juga mempertimbangkan penurunan produksi (lifting) minyak.

"Kalau dari minyak dan komoditas dengan harga ICP sampai US$ 30 per barel, mungkin penerimaan turun bisa sampai Rp 90 triliun. Dihitung dari asumsi kurs sama, lifting turun dengan jumlah yang terjelek pokoknya," tutur Bambang.

Dari data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan perpajakan sampai dengan 5 Februari 2016 sebesar Rp 78,8 triliun. Salah satunya bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas sebesar Rp 2,8 triliun atau baru 6,8 persen dari target di APBN 2016 sebesar Rp 41,4 triliun.

Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibanding realisasi periode yang sama sebelumnya sebesar Rp 5 triliun atau 10,1 persen dari proyeksi. Sedangkan pendapatan negara dipatok Rp 1.822,5 triliun di APBN-P 2016.

Angka itu berasal dari penerimaan pajak Rp 1.360,2 triliun, Bea dan Cukai Rp 186,5 triliun, PNBP dari sumber daya migas dan non migas Rp 273,8 triliun, serta penerimaan hibah Rp 2 triliun.

"Penerimaan migas pada 2014 masih 20 persen dari total pendapatan negara. Tapi tahun lalu, porsinya sudah tinggal 10 persen. Jadi pajak yang harus di depan tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi," ujar Bambang‎. (Pew/Ahm)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.